Selamat Datang di Blog Hutanku Hutanmu

Semoga Blog ini bisa memberi sedikit manfaat sebagai wadah informasi dan sharing tentang kehutanan

Selasa, 15 Maret 2011

NTB Hijau (bagian-1)


I.          PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembangunan daerah NTB......titik berat pada sektor pertanian dan pariwisata. Pengembangan sektor-sektor unggulan tersebut memerlukan dukungan berbagai sektor terutama sektor kehutanan. Hal ini mengingat sebagian besar wilayah daratan NTB (53%) merupakan kawasan hutan. Kawasan hutan di NTB memiliki peranan strategis, mengingat karakter wilayah NTB yang beriklim  kering sampai sangat kering, topografi yang didominasi oleh tingkat kelerengan agak curam sampai sangat curam, dan merupakan salah satu daerah rawan bencana. Memperhatikan karakteristik wilayah tersebut, maka sumber daya hutan di NTB diarahkan pada peningkatan fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi.
Pembangunan kehutanan merupakan bagian integral dari pembangunan daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.  Pembangunan kehutanan dilaksanakan melalui pengurusan hutan, pemanfataan hutan dan hasil hutan dan tata kelola sumberdaya hutan, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan kehutanan dilaksanakan dengan menganut 2 (dua) azas utama yaitu azas manfaat dan azas lestari. Azas manfaat memiliki makna bahwa pembangunan kehutanan harus diselenggarakan dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu memberikan manfaat yang optimal.  Azas lestari memberikan batasan yang tegas bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan hasil hutan harus dilaksanakan dalam kerangka kelestarian dan keberlanjutan pembangunan.
Azas pembangunan kehutanan tersebut mengamanatkan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya hutan harus dapat mempertahankan keberadaan lahan yang diperuntukkan sebagai kawasan hutan dalam luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional menuju pengelolaan hutan lestari. Keberadaan sumberdaya hutan dalam wujud biofisik hutan dan wujud abiotik dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi, harus dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat.  Untuk mendukung hal tersebut maka tata kelola sumberdaya hutan baik aspek kelola ekonomi, kelola ekologi atau lingkungan maupun  kelola sosial harus diselenggarakan dengan baik. Amanat yang dituangkan dalam azaz tersebut diimplementasikan dalam empat upaya pokok yaitu 1) perencanaan hutan, 2) pengelolaan hutan, 3) penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta penyuluhan, dan 4) pengawasan dan pengendalian, yang secara keseluruhan ditujukan guna mewujudkan pengelolaan hutan lestari untuk kesejahteraan masyarakat.
Dalam implementasinya, pembangunan kehutanan menghadapi beberapa permasalahan yang membawa implikasi cukup luas, baik dalam dimensi ruang maupun sektoral. Permasalahan ruang, terutama disebabkan adanya kebutuhan ruang bagi pembangunan berbagai sektor yang semakin tinggi seperti sektor pertanian, prasarana wilayah, perhubungan dan telekomunikasi, permukiman dan transmigrasi, pertambangan dan lain-lain. Alokasi ruang bagi pembangunan sektor-sektor tersebut, pada dasarnya sudah disediakan diluar kawasan hutan atau yang biasa disebut dengan Areal Penggunaan Lain (APL) dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Namun demikian, seringkali terjadi kebutuhan ruang yang mengharuskan penggunaan kawasan hutan karena menyangkut lokasi suatu kawasan, seperti pemasangan repeater untuk telekomunikasi yang mengharuskan menggunakan kawasan yang berelevasi tinggi atau kawasan hutan pada umumnya, kegiatan pertambangan karena menyangkut potensi yang terkandung dalam tanah, pembangunan jalan dan jembatan karena menyangkut akses suatu wilayah terhadap wilayah lain, dan lain-lain. Kebutuhan ruang tersebut, menyebabkan keberadaan kawasan hutan seringkali dipandang sebagai penghambat pembangunan sektor lain karena penggunaan kawasan hutan yang banyak mengalami kendala. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengamanatkan bahwa penggunaan kawasan hutan harus seizin Menteri Kehutanan, sedangkan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan hanya diperkenankan pada hutan produksi dan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan tidak diperkenankan dengan cara terbuka. Proses penggunaan kawasan hutan tersebut, seringkali memerlukan waktu yang cukup lama karena persyaratan yang tidak lengkap dan menyangkut persoalan status kawasan hutan.
Secara sektoral pembangunan kehutanan telah mampu mendorong bagi pengembangan pembangunan berbagai sektor terkait seperti pertanian, pariwisata, industri, transportasi, dan lain-lain karena adanya kondisi, potensi dan fungsi kawasan hutan. Berjalannya fungsi hutan akan cenderung meningkatkan ketersediaan air tanah, perbaikan panorama, meningkatkan ketersediaan pangan, dan lain-lain, sehingga akan meningkatkan produksi barang dan jasa di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Peningkatan produksi barang dan jasa tersebut, secara tidak langsung akan mendorong aktivitas pembangunan berbagai sektor lain seperti tumbuhnya industri pengolahan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu, pengolahan bahan makanan, transportasi untuk mendukung distribusi, pengembangan hotel dan restoran, tumbuhnya sektor pariwisata dan lain-lain yang pada akhirnya akan meningkatkan kontribusi pembangunan ekonomi daerah dengan indikator PDRB.  Keseluruhan pembangunan berbagai sektor tersebut, pada akhirnya akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan membuka lapangan kerja baru sehingga akan mengurangi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.   
Wilayah Nusa Tenggara Barat, secara umum merupakan salah satu wilayah yang cukup penting bagi pembangunan Nasional terutama dalam pembangunan ekonomi serta upaya pelestarian keanekaragaman hayati dunia, meskipun secara luasan relatif kecil dibanding wilayah lain di Indonesia. Hal ini disebabkan, posisi strategis wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat yang diapit oleh 3 (tiga) kawasan tujuan wisata dunia yaitu Pulau Bali di bagian Barat, Tana Toraja di bagian Utara dan Komodo di bagian Timur, menyebabkan wilayah Nusa Tenggara Barat menjadi lintasan wisata yang cukup ramai. Disamping itu, potensi wisata yang tinggi seperti kawasan laut, pantai, alam pegunungan, budaya, dan lain-lain sebagai atraksi wisata yang menarik, menyebabkan wilayah Nusa Tenggara Barat semakin diminati dalam kunjungan wisata maupun investasi yang berkaitan dengan sektor pariwisata. Dampak lanjutan dari aktivitas tersebut adalah berkembangnya perekonomian wilayah mengingat sektor pariwisata mempunyai backward and foreward yang cukup luas. Secara ekologis, wilayah Nusa Tenggara Barat mempunyai karakteristik yang khas karena merupakan lintasan garis Wallace sebagai peralihan ekologi antara benua Asia dan Australia. Secara spesifik di Pulau Lombok ditemukan adanya kera hitam/lutung (Presbithys cristata) yang tidak ditemukan di Pulau Bali dan Pulau Sumbawa, jenis tanaman Kelicung (Dyosphyros malabarica) dan Rajumas (Duabanga moluccana) yang merupakan tanaman khas Nusa Tenggara Barat, dan Gaharu (Gyrinops vertegii) yang merupakan tanaman penghasil gubal gaharu dengan jenis tanaman yang berbeda dengan daerah lain, Taman Nasional Gunung Rinjani yang mempunyai kaldera akibat letusan gunung Rinjani beberapa puluh tahun lalu sehingga membentuk danau Segara Anak bisa menjadi warisan dunia (heritage world), Gunung Tambora dengan kaldera akibat letusan satu abad silam yang menarik secara geologis, danau Rawa Taliwang sebagai tempat persinggahan burung yang migrasi dari daratan Australia ke daratan China, dan lain-lain.
Disamping potensi sumber daya alam yang dimiliki, Provinsi Nusa Tenggara Barat juga menghadapi tekanan fisik, sosial dan ekonomi yang tidak ringan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk sehingga akan mempengaruhi daya dukung dan keberlanjutan fungsi ekosistem wilayah Nusa Tenggara Barat. Sementara itu disisi lain, pembangunan berbagai sektor yang semakin cepat, perlu dicermati dengan mempertimbangkan kemampuan daya dukung kawasan agar kerusakan lingkungan dapat ditekan pada tingkat yang minimal. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi sangat strategis dalam rangka alokasi ruang bagi rencana peruntukan pembangunan berbagai sektor yang lebih serasi dan seimbang antar sektor dan lingkungan hidup.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang antara lain mengamanatkan untuk menyediakan kawasan lindung sebesar 30% dari luas wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) guna menjamin fungsi pengaturan tata air dapat berjalan baik. Fungsi perlindungan tata air tersebut dapat berjalan baik dengan beberapa persyaratan, yaitu (1) kawasan lindung tersebar dalam luasan yang cukup dan proporsional pada setiap DAS, (2) kawasan lindung mempunyai tutupan vegetasi yang sesuai sehingga memungkinkan berfungsi sebagai perlindungan tata air, dan (3) kawasan lindung terjaga dari berbagai macam aktivitas yang destruktif, sehingga dapat dipertahankan keberadaan dan kondisinya. Untuk menuju terselenggaranya pengaturan tata air tersebut, maka sebagai langkah awal perlu memasukan alokasi kawasan budidaya dan kawasan lindung tersebut ke dalam RTRW untuk selanjutnya digunakan sebagai landasan operasional pelaksanaan berbagai program pembangunan.   
Berdasarkan kajian citra landsat tahun 2003, luas lahan kritis dan kawasan terbuka di Nusa Tenggara Barat sudah mencapai angka 527.000 ha atau mencapai 25,15% dari wilayah daratan yang terbagi dalam 160.000 Ha (7,94%) dalam kawasan hutan dan 367.000 Ha (17,2%) di luar kawasan hutan (Dinas Kehutanan Prov. NTB, 2003). Kerusakan sumber daya hutan dan lahan tersebut telah memberi dampak yang buruk bagi pembangunan berbagai sektor serta mengancam terjadinya bencana alam berupa longsor dan banjir serta kekeringan. Fenomena kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan di Nusa Tenggara Barat, dapat dilihat dari beberapa data dan fakta di lapangan, yang menunjukkan tingkat bahaya erosi DAS  di Nusa Tenggara Barat sangat tinggi yaitu mencapai 71,59% di wilayah DAS Pulau Lombok dan 70,09% di wilayah DAS Pulau Sumbawa. Hal ini telah menyebabkan kondisi 18 DAS di Nusa Tenggara Barat berada dalam kondisi kritis hingga sangat kritis. Selain itu, selama kurun waktu 20 tahun terakhir telah terjadi penurunan sejumlah mata air. Lebih dari 400 titik mata air di Nusa Tenggara Barat telah hilang dan telah menyebabkan terjadinya defisit air akibat menurunnya ketersediaan air, sementara pemanfaatan air cenderung semakin tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh WWF Indonesia Program Nusa Tenggara menemukan fakta bahwa di Pulau Lombok telah terjadi defisit air sebesar 1,2 M M3 per tahun. Kondisi ini apabila tidak segera ditangani dengan serius akan berdampak terhadap 70% lebih masyarakat agraris atau yang bertumpu pada sektor pertanian dan kebutuhan air bersih penduduk di Pulau Lombok (WWF, 2008). Dampak lanjutan dari kondisi tersebut adalah penurunan produksi pertanian serta kesejahteraan masyarakat terutama petani.
Beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya kondisi tersebut antara lain terkait dengan rendahnya kesejahteraan masyarakat terutama di dalam dan sekitar kawasan hutan, rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup, serta kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang masih lemah. Penduduk miskin NTB tahun 2006 mencapai 1.126.000[v1]  (26% penduduk NTB) dimana 40% diantaranya berada didalam dan sekitar hutan. Tingkat kesadaran masyarakat yang rendah dapat ditunjukkan masih berlangsungnya praktek-praktek pengelolaan hutan yang bersifat merusak seperti perladangan dan perambahan hutan, pembukaan lahan dengan cara pembakaran serta penebangan liar. Aktivitas budidaya dan bangunan fisik juga masih berlangsung pada beberapa kawasan lindung, sehingga akan mengurangi daerah resapan air. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam juga sering kurang konsisten seperti penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan terbuka yang akan mengurangi fungsi kawasan lindung. Secara umum beberapa kendala pengelolaan sumber daya alam yang masih dihadapi, antara lain :
1.    kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang masih lemah karena orientasi pembangunan yang lebih mengutamakan ekonomi jangka pendek. Kondisi ini dapat dicermati pada alokasi anggaran dalam beberapa tahun yang masih kecil pada sektor/institusi yang menangani lingkungan dan wilayah hulu,
2.    Hasil identifikasi program yang berbasis kehutanan dan lingkungan masih belum memadai dan belum mampu memberi gambaran kontribusi terhadap pembangunan ekonomi daerah, karena kontribusi ekonomi hanya diperhitungkan pada jenis komoditas secara langsung,
3.    aktivitas yang berkaitan dengan perusakan sumber daya alam masih berjalan dan cenderung semakin meningkat sejalan dengan kebutuhan hasil hutan dan ruang bagi pembangunan yang semakin tinggi,
4.    informasi sebagai instrumen utama untuk memantau pembangunan belum tersedia dengan baik karena sistem monitoring dan evaluasi yang belum terbangun,  
5.    masih terjadi dikotomi antara kepentingan ekonomi dan kepentingan lingkungan. Kebutuhan pembangunan ekonomi masih banyak mengorbankan lingkungan dan sumber daya alam.
Permasalahan ini harus segera ditangani oleh pemerintah melalui kerjasama dengan semua pihak terkait. Penanggulangan masalah degradasi sumberdaya alam dan lingkungan di NTB yang tidak berdasarkan sumber permasalahan dalam beberapa aspek di atas, tidak akan efektif dan hanya akan menimbulkan masalah-masalah  baru yang mungkin lebih kronis, berkelanjutan serta terakumulasi menjadi permasalahan yang memberi dampak negative lebih besar. Oleh karena itu, perencanaan pengelolaan sumber daya hutan dan lingkungan hidup yang komprehensif guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Provinsi NTB mutlak dilakukan. Guna menjawab berbagai persoalan dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lingkungan di NTB, maka Pemerintah Provinsi NTB berkenan membangun pemahaman untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup yang diberi nama NTB Hijau. Sebagai gerakan, NTB Hijau akan mengajak seluruh lapisan masyarakat, pemerintah dan berbagai pihak lainnya untuk terus melaksanakan perbaikan lingkungan. Inti dari gerakan ini adalah menanam dan memelihara pohon hingga tumbuh menjadi tanaman yang akan banyak memberi manfaat terutama bagi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Sasaran utama dari gerakan ini adalah memulihkan kondisi kawasan-kawasan yang rusak sehingga mampu menjadi pendukung aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Nusa Tenggara Barat secara umum serta menghindarkan dari berbagai ancaman bencana alam seperti banjir dan longsor.
Hal ini sejalan dengan dengan Visi dan Misi  Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat 2008 – 2013 yaitu “Terwujudnya Masyarakat Nusa Tenggara Barat yang Beriman dan Berdaya Saing (NTB Bersaing)” sedangkan misinya adalah : (1) mengembangkan masyarakat madani yang berakhlak mulia, berbudaya, menghormati pluralitas dan kesetaraan gender, (2) meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang berkeadilan, terjangkau dan berkualitas, (3) menumbuhkan ekonomi pedesaan berbasis sumberdaya lokal dan mengembangkan investasi dengan mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan, (4) melakukan percepatan pembangunan infrastruktur strategis dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, (5) menegakkan supremasi hukum, pemerintahan yang bebas KKN dan memantapkan otonomi daerah. Dari visi dan misi tersebut tersirat adanya kemauan untuk membangun Nusa Tenggara Barat secara sungguh-sungguh baik fisik maupun mental, serta mendorong situasi yang kondusif, yang pada akhirnya akan memacu pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan. Pembangunan tidak saja dilaksanakan secara fisik dengan mengembangkan berbagai infrastruktur tetapi juga dilakukan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan hidup dan kondisi wilayah. Oleh karena itu, NTB Hijau dipandang strategis dalam rangka menggalang gerakan perbaikan lingkungan hidup, menyeimbangkan ekosistem dan pengembangan ekonomi yang dilaksanakan melalui berbagai program pembangunan.
B.    Maksud dan Tujuan
1.     Maksud
Penyusunan Dokumen NTB Hijau Provinsi Nusa Tenggara Barat dimaksudkan sebagai upaya yang terarah dan terencana untuk optimalisasi pemanfaatan lahan hutan dan percepatan rehabilitasi hutan melalui alokasi ruang yang sesuai dengan kondisi kawasan dan mempunyai hasil yang lebih terukur serta sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

2.     Tujuan
Tujuan penyusunan Dokumen NTB Hijau Provinsi Nusa Tenggara Barat, adalah :
1.  Sebagai dokumen perencanaan dan pelaksanaan pembangunan terkait dengan gerakan NTB Hijau yang lebih mengarahkan pada alokasi peruntukan ruang terutama kawasan hutan bagi kegiatan pembangunan sesuai dengan perkembangan kondisi wilayah,
2.  Untuk mengetahui kondisi kehutanan masa depan serta rencana kegiatan pembangunan dalam dimensi ruang dan waktu, memberi gambaran kegiatan pembangunan kehutanan dan sektor terkait lainnya yang akan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi wilayah dan tahapan-tahapannya, serta melihat dukungan pembangunan kehutanan terhadap sektor terkait lainnya, 
3.  Sebagai dokumen untuk merancang alokasi sumberdaya input dalam setiap tahapan kegiatan pembangunan yang meliputi dana, tenaga dan waktu untuk menghasilkan output yang diharapkan.

3.     Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai adalah tersedianya dokumen perencanaan pembangunan kehutanan dan pembangunan terkait lainnya, yang dapat dijadikan acuan dalam pembangunan sumber daya alam dan lingkungan secara spasial dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan kondisi wilayah dan tahapan kegiatan pembangunan. Sasaran kegiatan adalah seluruh wilayah daratan Nusa Tenggara Barat terutama kawasan lindung (hutan lindung, kawasan konservasi, kawasan rawan bencana dan kawasan lindung setempat) yang telah mengalami kerusakan sehingga mampu meningkatkan fungsi kawasan dalam perlindungan tata air, perlindungan wilayah serta ekosistem wilayah; kawasan budidaya guna mendukung berlangsungnya produksi hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu, dan kawasan pembangunan sektor lain terkait. 

4.     Manfaat
Manfaat penyusunan dokumen NTB Hijau Provinsi Nusa Tenggara Barat, antara lain :
a.    Bagi Pemerintah : merupakan dokumen yang dapat berfungsi sebagai pemberi arahan bagi pembangunan dalam kajian wilayah dan lingkungan sesuai dengan status kawasan,
b.    Bagi Pemerintah Provinsi : merupakan dokumen yang dapat berfungsi sebagai acuan dalam merancang alokasi sumber daya input sebagai dukungan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan serta mendorong masuknya investasi,
c.    Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota : merupakan dokumen yang dapat berfungsi sebagai acuan dalam menyusun rencana pelaksanaan kegiatan pembangunan dengan mempertimbangkan ruang dan waktu lebih detail,
d.    Bagi Masyarakat : merupakan dokumen yang akan mendorong gerakan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan.

5.     Ruang Lingkup
a.     Pendahuluan, berisi latar belakang perlunya penyusunan dokumen perencanaan Rencana Aksi NTB Hijau, tujuan, sasaran yang ingin dicapai dan sasaran kegiatan, manfaat bagi pemerintah, bagi pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan stakeholder lainnya dan ruang lingkup.
b.     Kondisi Wilayah Nusa Tenggara Barat, menyangkut gambaran kondisi kawasan hutan, kondisi sumber daya air, kontribusi ekonomi sub sektor kehutanan, kawasan rawan bencana dan instrumen kebijakan,
c.         Perencanaan Kehutanan Spasial, berisi analisis kondisi spasial, rencana pembangunan kehutananan secara spasial dan rencana pembangunan sektor lain secara spasial
d.        Rencana Aksi, merupakan arahan program pembangunan kehutanan dan dukungan bagi sektor lain dan rencana aksi yang menyangkut pelaksanaan program dan penggunaan ruang.

 [v1]Pake data 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar