Selamat Datang di Blog Hutanku Hutanmu

Semoga Blog ini bisa memberi sedikit manfaat sebagai wadah informasi dan sharing tentang kehutanan

Jumat, 23 Januari 2015

HKm Menjadi Solusi Permasalahan Kehutanan



Oleh
Renny Retnowathi, S.Hut., M.Si

I.        PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang

Realitas kegiatan pengelolaan hutan selama ini yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Konsep trickle down effect atau pertumbuhan untuk pemerataan ternyata tidak serta-merta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, timbul ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada kesenjangan kesejahteraan antar masyarakat, khususnya antara masyarakat yang memiliki akses terhadap manfaat hutan (pengusaha hutan, dan elit lokal) dan masyarakat kebanyakan yang memiliki keterbatasan akses terhadap manfaat hutan.
Rendahnya kapasitas sumberdaya manusia (pendidikan, sosial ekonomi, dan informasi) mengakibatkan semakin terbatasnya akses masyarakat di dalam dan di sekitar hutan terhadap manfaat ekonomi hutan. Oleh karena itu, kapasitas masyarakat harus ditingkatkan agar akses terhadap sumberdaya hutan meningkat. Sedangkan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, masyarakat terlebih dahulu harus dientaskan dari kemiskinan agar memperoleh akses terhadap pendidikan dan informasi. Hal ini merupakan lingkaran setan (vicious circle) yang harus dipecahkan dan diuraikan simpulnya. Simpul dari lingkaran setan ini tidak lain adalah masalah kemiskinan (poverty).
Walaupun cukup sulit untuk memperoleh angka kemiskinan secara pasti, namun setidaknya  tercatat bahwa dari seluruh penduduk NTB terdapat 1.126.674 orang  NTB  yang tergolong miskin (26,46% dari jumlah penduduk NTB), dimana  400.000 orang (40%) diantaranya hidup di dalam dan sekitar hutan yang mempunyai ketergantungan pendapatan secara langsung dari sumberdaya hutan. Selain itu luas kepemilikan lahan pertanian penduduk Pulau Lombok hanya ± 0,2 ha/KK untuk menyangga 4-5 orang (Dishut Prop NTB, 2009)
Program social forestry dapat mengambil peran ke depan untuk mengakomodir keinginan, hasrat dan harapan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pengembangan social forestry dalam pengelolaan hutan harus dapat membalikkan paradigma dari pendekatan yang bersifat top down menjadi bottom up atau pendekatan partisipatif dan mengutamakan partisipasi masyarakat setempat. Strategi optimum pengembangan social forestry untuk masyarakat adalah pemberian kesempatan pengelolaan hutan kepada masyarakat dengan ketentuan-ketentuan yang memberi insentif pada efesiensi dan keberlanjutan usaha dan kelestarian hutannya, tanpa harus membagi-bagi dan menyerahkan kepemilikan areal hutan pada masyarakat pelaku ekonomi.
               Gambar 1. Contoh HKm di Gunung Sasak


Strategi pokok pengembangan social forestry adalah :
1.      Kelola kawasan merupakan rangkaian kegiatan prakondisi yang dilakukan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan social forestry dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya hutan.
 
 
                Gambar 2. HHBK yang  dapat dikembangkan diareal HKm
2.     Kelola kelembagaan merupakan rangkaian upaya dalam rangka optimalisasi
pelaksanaan social forestry melalui penguatan organisasi, penetapan aturan, dan peningkatan kaspasitas SDM.
3.    Kelola usaha merupakan rangkaian kegiatan yang mendukung tumbuh kembangnya usaha di areal kerja social forestry melalui kemitraan dengan perimbangan hak dan tanggung jawab.
Dengan adanya perkembangan dinamika kehidupan masyarakat didalam dan di sekitar hutan maka lahirlah dasar kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dapat memayungi dan mendukung penguatan kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat seperti : Hutan Kemasyarakatan (Permenhut No. 37 Tahun 2007), Hutan Desa (Permenhut No. 49 Tahun 2008), pendanaan Hutan Rakyat (SK Menhut No. 49/Kpts-II/1997)
Proses Pemberdayaan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan
hutan kemasyarakatan
1.          Pendampingan masyarakat dan pendampingan teknis
         Gambar 3. Kegiatan Pendampingan Kelompok HKm
2.    Pelatihan (pembibitan, pemeliharaan tanaman sela dan tegakan hutan)
3.    Penyuluhan
4.    Bantuan teknis pembibitan, pemeliharaan tegakan, tanaman sela, rehabilitasi
hutan (konservasi tanah dan air, penanaman, pengayaan, dan pemeliharaan),
teknis pembukaan lahan
5.    Bantuan informasi dan media
6.    Pengembangan kelembagaan
7.    Pengembangan sumberdaya manusia
8.    Pengembangan jaringan kemitraan (kerjasama dan pemasaran)
9.    Pendampingan sistem administrasi kelembagaan
10. Sistem permodalan
11. Monitoring dan evaluasi

1.2        Permasalahan
Seperti diuraikan diatas bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan adalah dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap hutan dengan memanfaatkan potensinya tanpa merubah fungsi kawasan hutan, dalam hal ini upaya tersebut adalah dengan program Hutan Kemasyarakatan (HKm),  namun dalam kenyataannya capaiannya  masih rendah, baru 10 HKm yang memiliki SK penetapan dan memiliki izin pengelolaan  hutan, data tersebut disajikan dalam lampiran 1.
Beberapa masalah yang dihadapi pada  program ini dalam upaya mengentaskan kemiskinan masyarakat diantaranya adalah :

A.     Masalah Kebijakan Pemerintah
1.    Dalam pengelolaan kawasan hutan dan lahan telah terjadi tarik menarik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten) dalam hal pengaturan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan. Pemerintah daerah yang selama ini hanya menunggu petunjuk dan aturan dari pusat dalam mengelola sumberdaya hutan sudah merasa lebih memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan hutan.
Tarik menarik kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan hutan ini tidak akan membawa manfaat bagi kelestarian hutan dan kesejahteraan rakyat jika tetap tidak ada keberpihakan kepada masyarakat terutama mereka yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.
2.    Sulit mendapatkan lahan yang clear dan clean atau bebas konflik atau sudah banyak yang diokupasi. Oleh sebab itu, perlu secepatnya diupayakan akomodasi dan perlindungan hukum (asas legalitas) agar pemantapan kawasan hutan tetap berjalan dan terjaga dengan baik, dalam upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap hutan dengan pemanfaatan potensinya.
3.    Terbatasnya pengaturan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan, yang dipengaruhi  oleh kurangnya rasa kepemilikan masyarakat terhadap sumber daya hutan, terbatasnya akses masyarakat dalam memperoleh pendapatan, ketidakpastian pengelolaan hutan oleh masyarakat, rendahnya pemanfaatan potensi sumber daya hutan oleh masyarakat, rendahnya posisi tawar masyarakat, dan meningkatnya gangguan terhadap sumber daya hutan.
4.    Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap program pemerintah dan pihak lainnya. Hal ini berujung pada rendahnya inisiatif dan inovasi masyarakat dalam pengelolaan hutan sehingga masyarakat menjadi pasif dan tidak mandiri. Selain itu, hal ini berakibat pada lemahnya aspirasi masyarakat terhadap pengelolaan hutan.
5.    Program pemberdayaan terhadap masyarakat yang tidak tepat sasaran, hal ini mengakibatkan pemborosan dana, waktu, dan tenaga. Selain itu pengembangan potensi masyarakat menjadi tidak optimal dan masyarakat semakin tidak berdaya dalam pemanfaatan sumber daya hutan. Akibatnya masyarakat sekitar hutan tetap miskin dan muncul kecemburuan sosial di antara anggota masyarakat, yang bermuara pada semakin tidak harmonisnya hubungan masyarakat dan sumber daya hutan.
6.    Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang tidak konsisten juga merupakan masalah yang harus segera ditangani secara sungguh-sungguh. Kebijakan yang tidak konsisten mengakibatkan kerusakan sumber daya hutan yang semakin hebat, tumpang tindihnya hak dan kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan dan terhambatnya upaya pengembangan ekonomi masyarakat. Selain itu kebijakan yang tidak konsisten juga membingungkan masyarakat dan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang berakibat pada tidak tercapainya tujuan pemberdayaan masyarakat. Hal ini berarti program pemberdayaan masyarakat tidak efisien dan berpotensi memicu konflik diantara para pihak.

B.            Masalah Sosial Ekonomi
1.    Rendahnya pendapatan masyarakat yang diakibatkan oleh  sumber daya hutan cenderung semakin rusak  akibat eksploitasi hutan menyebabkan masyarakat semakin sulit mengembangkan potensi diri, sehingga standar minimal kebutuhan masyarakat sulit terpenuhi, dan pada akhirnya masyarakat kurang dapat berpartisipasi dalam program pembangunan.
2.    Kurangnya lapangan kerja yang tersedia menyebabkan masyarakat semakin tergantung pada sumber daya hutan dan masyarakat cenderung melegalkan segala cara dalam mengeksploitasi sumber daya hutan, yang mengakibatkan banyak pengangguran maupun setengah penganggur, sehingga produktivitas masyarakat rendah dan mudah dihasut untuk melakukan kegiatan yang negatif.
3.    Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat menyebabkan kurangnya  informasi mengenai potensi sumberdaya sekitarnya sehingga masyarakat cenderung menjadi objek pihak lain dan kurangnya dorongan untuk maju. Implikasinya, pemanfaatan kesempatan usaha tidak optimal, kemampuan mendapat nilai tambah menjadi sulit, harga jual hasil produksi masyarakat tertekan, dan masyarakat sulit melepaskan diri dari kungkungan sistem yang membelenggu masuknya arus informasi.
4.    Keterbatasan modal berdampak pada terhambatnya pemanfaatan lebih lanjut sumber daya hutan, rendahnya peluang berusaha, dan sulitnya mengembangkan potensi dan mendapat nilai tambah sehingga pada akhirnya cenderung berorientasi pada eksploitasi illegal sumber daya hutan.
C.     Masalah Kelembagaan
1.         Kurangnya peran dan sinergitas diantara para pihak(stakeholder), baik sinergitas  antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan mengakibatkan terjadinya tumpang tindih dan/atau kesenjangan kegiatan sehingga tidak efektif dan efesien.
2.         Lemahnya akses masyarakat terhadap modal (finansial, lahan, saprodi), pasar, iptek, informasi, dan dalam proses pengambilan kebijakan..
3.         Kekuatan social capital yang ada di dalam suatu kelompok masyarakat.
4.         Terjadinya gap antara kebijakan dan pelaksanaan
5.         Lemahnya data dan informasi tentang masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta kurangnya kepedulian terhadap data mengakibatkan rendahnya akurasi dan kepedulian terhadap keberhasilan program.
D.     Masalah Sumberdaya Manusia
1.         Kurangnya kemampuan (kuantitas dan kualitas) aparat pemerintah dalam memfasilitasi pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan,
2.         Rendahnya kemampuan SDM (masyarakat, pemerintah, pengusaha hutan) menyebabkan sumber daya manusia tidak adaptif dan membuka celah terjadinya miskomunikasi dan disinformasi sehingga pelaksanaan program dan pencapaian sasaran kegiatan pemberdayaan tidak efektif.

1.3       Tujuan
Penulisan  makalah ini merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mendeskrifsikan kegiatan HKm dengan berbagai permasalahan yang terjadi dan dampak positif yang dihasilkan dan  bertujuan untuk :
1.      Memahami program pemerintah yakni Hutan Kemasyarakatan (HKm) dalam upaya pengentasan kemiskinan masyarakat, terutama masyarakat sekitar kawasan hutan.
2.     Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan HKm.
3.     Mampu memberikan solusi dan saran terhadap masalah-masalah yang dihadapi, baik kepada pihak pemerintah, lembaga pengelola maupun kelompok masyarakat.


II.      TINJAUAN PUSTAKA

2.1       Tinjauan Teoritis
Kemiskinan adalah kondisi keterbatasan dalam berbagai hal, yaitu pangan, papan, akses kesehatan, pendidikan, informasi, pekerjaan, dan kebebasan (eksistensi diri). Dengan kata lain, kemiskinan memiliki banyak wajah, yang dapat berubah dari waktu ke waktu dan dapat dipaparkan dengan berbagai cara. Namun yang sudah pasti, kemiskinan adalah sebuah situasi dimana orang menginginkan untuk terbebaskan darinya (poverty is a situation people want to escape). Singkatnya pengentasan kemiskinan adalah aksi untuk mengubah keadaan sehingga lebih banyak orang dapat makan, memiliki rumah layak, punya akses ke pendidikan dan kesehatan, terlindungi dari kejahatan atau ancaman lingkungan, dan dapat menyuarakan aspirasinya (Hubeis, 2004).
Ditambahkan lagi bahwa tingginya angka kemiskinan di NTB, akibat akses masyarakat terhadap sumber daya produktif terbatas untuk melakukan proses produksi untuk menghasilkan barang atau jasa. Produktivitas masyarakat yang rendah berdampak pada rendahnya pendapatan sehingga masyarakat tetap miskin. Disamping itu, tingkat pertumbuhan penduduk miskin di NTB lebih tinggi daripada yang tidak miskin. Hal ini akibat perilaku sikap mental yang sudah lama dilakoni sehingga menjadi budaya kemiskinan. Program strategis menurutnya harus terintegrasi dan melibatkan semua sektor seperti sektor ekonomi, sosial, dan infrastruktur dengan sasaran masyarakat miskin terdata. Harus ada gerakan terpadu dengan sistem yang betul-betul melibatkan masyarakat. Program pemerintah selama ini dikritisi Karyadi, dimulai dari tengah dan tidak langsung menyentuh pada kendala penyumbatannya ada dimana.
Menyikapi permasalahan-permasalahan di atas diperlukan metode penyelesaian melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat (prosperity approach). Pendekatan pemberdayaan masyarakat mengubah paradigma pembangunan kehutanan dari timber based forest management menjadi community based forest management. Salah satu kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan adalah melalui program Hutan Kemasyarakatan.
Luas hutan kemasyarakatan yang sudah memiliki Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) mencapai 14.800,5 hektare (ha). HKM yang sudah memiliki status legal tersebut tersebar di Kabupaten Lombok Barat seluas 411 ha, Kabupaten Lombok Tengah 1.809,5 ha, Kabupaten Lombok Utara 2.042 ha, Kabupaten Lombok Timur seluas 2.230 ha. Di Kabupaten Sumbawa seluas 895 ha, Kabupaten Dompu 4.400 ha, Kabupaten Bima 1.999 ha, dan Kota Bima seluas 1.050 ha. Sementara luas HKM yang belum memiliki SK Menhut, mencapai 4.510 ha yang tersebar di Kabupaten Lombok Utara seluas 215 ha, Kabupaten Lombok Timur 1.705 ha, Kabupaten Lombok Barat 1.520 ha, Kabupaten Sumbawa 870 ha, dan Kabupaten Bima seluas 200 ha.
Sementara luas HKM yang belum memiliki SK Menhut, mencapai 4.510 ha yang tersebar di Kabupaten Lombok Utara seluas 215 ha, Kabupaten Lombok Timur 1.705 ha, Kabupaten Lombok Barat 1.520 ha, Kabupaten Sumbawa 870 ha, dan Kabupaten Bima seluas 200 ha. Status legal dari seluruh HKM yang belum memiliki SK Menhut itu masih dalam proses, agar masyarakat yang diberikan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKM) tidak khawatir akan diusir paksa.
Sinergi dengan instansi terkait sangat diperlukan karena masing-masing instansi itu juga mereka memiliki program pelatihan UMKM dan penciptaan wirausaha baru yang bertujuan menekan angka kemiskinan dan pengangguran di NTB. Data Badan Pusat Statistik (BPS) NTB, tercatat angka pengangguran terbuka (TPT) hingga Februari 2012, sekitar 5,21 persen dari total jumlah penduduk yang tergolong angkatan kerja sebanyak 2,18 juta orang.
Sejalan dengan hal tersebut (KBRN, 2012), menyatakan bahwa pemerintah harus terus mendorong pengelolaan hutan oleh rakyat, seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), untuk tetap menjamin berjalannya fungsi ekologi dan fungsi ekonomi secara seimbang.
Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Petani Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kawasan Hutan Sesaot, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat ( Metin Rahayu, 2012)
1.      Kondisi Sosial Penduduk asli masyarakat HKm adalah suku Sasak dan sebagian adalah pendatang dari suku seperti Jawa, Bali, Pulau Sumbawa dan Sulawesi Selatan. Kehidupan sosial masyarakat tetap saling rukun dan saling menghormati. Mata pencaharian masyarakat petani HKm sebagian besarnya adalah petani baik pada lahan pribadi maupun sebagai buruh tani. Rata-rata tingkat pendidikan rendah disebabkan sulitnya fasilitas pendidikan pada usia sekolah. Fasilitas pelayanan kesehatan sudah mulai tersedia melalui posyandu di setiap dusun, namun kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan menyebabkan kondisi kesehatan masyarakat sekitar kawasan hutan masih kurang.
2.     Kondisi ekonomi digambarkan sebagai berikut. Pendapatan utama  masyarakat berasal dari kawasan hutan dan memberikan kontribusi paling besar terhadap pendapatan total sehingga menggambarkan tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan sebagai sumber pendapatan keluarga.
3.     Aktitas kelembagaan menunjukkan bahwa masyarakat semakin berkembang dalam pekerjaan yang berdampak pada peningkatan pendapatan, tingkat pendidikan semakin membaik, serta kerukunan diantara masyarakat semakin membaik.
 Efektifitas Program Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok, Propinsi   Nusa  Tenggara Barat (Samsyiah Samad, 2012)
1.     Bahwa pelaksanaan program HKm yang telah berlangsung selama ± 15 tahun di Pulau Lombok, khususnya pada Kawasan Hutan Lindung Sesaot Kabupaten Lombok Barat dapat disimpulkan telah berjalan efektif, sedangkan untuk pelaksanaan HKm di Kawasan Hutan Lindung Batukliang Utara Kabupaten Lombok Tengah berjalan cukup efektif.
2.    Secara serentak faktor-faktor yang berpengaruh dan signifikan terhadap efektifitas program HKm adalah penerapan kebijakan, peran kelembagaan, dukungan dan peran para pihak, legalitas hak kelola, luas lahan kelola, kepemilikan aset dan jarak tempat tinggal, sedangkan secara parsial hanya empat faktor adalah penerapan kebijakan, luas lahan kelola, kepemilikan aset dan jarak tempat tinggal yang berpengaruh nyata terhadap efektifitas pelaksanaan program HKm pada taraf uji 5%.
3.    Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dan para pihak selama ini dalam pelaksanaan program HKm dilapangan memiliki korelasi yang kuat atau berpengaruh nyata terhadap efektifitas pelaksanaan program HKm baik dari aspek kelola kawasan, kelola kelembagaan maupun kelola usaha.


III.     HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1    Hasil Kajian
Dengan latar belakang degradasi hutan yang terus meningkat, yang ditandai dengan peningkatan jumlah lahan kritis oleh aktifitas manusia yang over exploitasi terhadap hutan dan hasilnya berupa penebangan liar, pembalakan, penyerobotan hutan maupun kebakaran hutan  yang disengaja maupun tidak, kesemuanya berdampak cukup besar terhada terancamnya sustainable forest. Untuk itu melalui beberapa pendekatan , melalui penyuluhan maupun pendampingan pemerintah membentuk  suatu program dalam mengakses keinginan masyarakat dalam mengelola hutan secara optimal, program tersebut kemudian  dinamakan Hutan Kemasyarakatan
Sejalan dengan hal tersebut para pakar dan pengamat kehutanan dunia mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia semakin meningkat. Forest Watch Indonesia (2001) meyatakan laju deforestasi hutan di Indonesia tercepat di dunia yaitu 2 juta/ha pertahun, atau dua kali lipat dari  deforestasi hutan pada tahun 1980. Penyebab deforestasi hutan ini antara lain; kebijakan konversi lahan, illegal logging, perambahan hutan serta kebakaran hutan. Kenyataan ini membawa dampak kerugian terhadap masyarakat dalam bentuk hilangnya sumberdaya ekonomi kayu dan non kayu yang pemanfaatannya selama ini belum optimal. Dampak lain yang dirasakan oleh kerusakan ini adalah bencana  banjir yang terus menerus terjadi pada musim hujan dan bencana kekeringan di musim kemarau yang sering terjadi di Indonesia (Sumarwoto, 2001).
Reformasi dalam bidang kehutanan menyempurnakan konsepsi tentang hutan kemasyarakatan dengan memfokuskan kegiatan pada kawasan hutan negara (bukan hutan rakyat). Hutan kemasyarakatan dirumuskan berdasarkan Kepmenhutbun No. 677/Kpts-II/1998 sebagai hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk dikelola oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan, dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan pada kepentingan menyejahterakan masyarakat.
Harapan bersama bahwa dengan adanya program itu, hutan tetap lestari dan masyarakat dapat bertambah kesejahteraannya. Hal ini menjadi slogan di mana-mana, sehingga program HKm untuk meningkatkan pendapatan rakyat (pro poor), menciptakan lapangan kerja (pro job), menumbuhkan investasi industri berbasis kayu rakyat (pro growth), serta mampu mempercepat rehabilitasi lahan kritis dan perbaikan mutu lingkungan (pro environment) dapat tercapai.

3.2.  Pembahasan
A.        Manfaat Pengelolaan HKm
Seperti diuraikan diatas program HKm telah  memberikan peluang yang luas  kepada masyarakat dalam mengelola hutan secara optimal dan bijaksana (sesuai aturan yang ada), banyak manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung, disadari maupun tidak   melalui beberapa tahapan kegiatan mulai dari perencanaan, pembangunan, pengelolaan  dan pemungutan hasil hutan sampai dengan kegiatan pemasaran. Manfaat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1.          Manfaat Ekonomi
Dalam pengelolaan HKm, pemerintah telah memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan pengelolaan terhadap hutan dengan aturan 30% untuk  tanaman hutan (kayu-kayuan) dan 70% untuk usaha tani hutan. Beberpa manfaat ekonomi yang bisa dipetik adalah dengan pengembangan :
a.         MPTs (Multi Purpose Tree Spesies)
Dari data dan observasi singkat yang pernah dilakukan beberapa usaha tani yang telah dikembangkan oleh masyarakat pengelola khususnya di Pulau Lombok yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi adalah dengan menanam tanaman MPTs (Multi Purpose Tree Spesies), jenis yang biasa dikembangkan  terdiri dari tanaman durian, nangka, alpukat, pepaya, pisang, cacao, kemiri, kopi, sukun, duku, manggis dll.
b.         Tanaman Empon-emponan
Untuk jenis empon-emponan yang biasa dikembangkan masyarakat terdiri dari berbagai jenis talas, kunyit, jahe, laos, kencur dan lain-lain. Jenis ini dapat ditanam di bawah tegakan MPTs maupun dibawah tanaman kayu-kayuan jadi sifatnya  memanfaatkan sela-sela tanaman namun memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Hasil pengelolaan tersebut  terbukti dapat menambah pendapatan masyarakat dibandingkan dengan sebelum melaksanakan program HKm
         Gambar 5.  empon-emponan bernilai ekonomi tinggi

c.      Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) lainnya
Selain tanaman MPTs dan jenis empon-empon beberapa hasil hutan yang memberikan nilai tambah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pengelola HKm adalah jenis rotan, ketak,  gaharu, aren, madu, bambu, tanaman vanili dan jenis lainnya. Jenis HHBK yang dimanfaatkan tergantung dari kondisi tempat tumbuh yang sesuai  dengan jenis tersebut, di suatu lokasi tertentu kadang hanya memiliki beberapa jenis HHBK saja. Faktor-faktor yang yang mempengaruhi pertumbuhan jenis tertentu ditentukan oleh topografi/ketinggian tempat, iklim, maupun keadaan lahan
d.     Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Akhir-akhir ini yang paling banyak disuarakan adalah kegiatan Ekowisata dengan memanfaatkan sumber daya alam (air, keindahan alam, maupun sumberdaya lain yang tersimpan di dalamnya) untuk kegiatan wisata dengan menggunakan panduan/ pemandu/ guide, jadi tetap mengacu pada aspek pelestarian alam. Selain itu bentuk pemanfaatannya digunakan  untuk irigasi, pengembangan perikanan, peternakan, dan kebutuhan pengairan lainnya, mata air yang ada untuk sumber air minum bagi masyarakat sekitar, iklim yang sejuk dan sehat yang dihasilkan oleh vegetasi sekitar, maupun untuk pemanfaatan dalam bentuk  transportasi  (sarana penyeberangan) pada wilayah sungai yang luas.
e.      Pengembangan Pendidikan dan Penelitian
Salah satu hal yang tidak kalah pentingnya meskipun tidak secara langsung menghasilkan benefit yang nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat namun hal ini memberikan dampak terhadap pengembangan pengelolaan HKm yang lebih lanjut, serta dapat berdampak terhadap penentuan langkah kebijakan pemerintah. Disamping itu kegiatan  pendidikan dan penelitian  ini sangat berpengaruh positif terhadap generasi penerus.
                  Gambar 6. Pemanfaatan Hasil Hutan oleh Masyarakat

2.     Manfaat Ekologis
Pemberian hak kepada petani  untuk mengelola sejumlah luasan tertentu kawasan hutan, menumbuhkan konsekuwensi mereka untuk bertanggungjawab terhadap lahan dan ekosistem yang terdapat di dalamnya, dan bisa dinyatakan bahwa secara tidak langsung petani pengelola merupakan penjaga bagi lahan tersebut. Hal ini secara tidak tertulis telah termaktub dalam awig-awig (hukum/aturan) kelompok untuk tidak melakukan penebangan/pengrusakan serta menjaga dari ancaman luar, dan jika ada yang melanggar awig-awig tersebut maka dia (pelanggar) maka konsekuwensinya adalah menerima denda (sesuai kesepakatan) atau harus siap dikeluarkan dari kelompok. Hal inilah yang dimaksudkan oleh pemerintah bahwa pengelolaan HKm diharapkan mampu menjaga sustainable forest (kelestarian hutan).
3.     Manfaat Sosial Budaya
Pemberian kewenangan kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan dengan luasan tertentu memberikan rasa nyaman dan ketenangan masyarakat dalam melakukan pengelolaan terhadap garapan mereka, berbeda halnya dengan sebelum program HKm ini diserahkan kepada masyarakat, mereka senantiasa diliputi kecemasan dan ketakutan bahwa untuk melakukan eksploitasi terhadap hutan. Ini juga berarti hilangnya rasa saling “mencemburui”  terhadap satu sama lain di dalam masyarakat itu sendiri. Dengan tumbuhnya rasa nyaman dan aman dalam mengelola lahan masing-masing maka kegiatan sosial antara lain saling menghargai, saling  bantu membantu maupun kebersamaan akan tumbuh dengan sendirinya, begitu juga dengan kelestarian budaya akan tetap terjaga dengan adanya awig-awig yang berlaku pada masyarakat.
4.     Manfaat Pendidikan
Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan terhadap pengelolaan HKm, salah satu dampak positif yang dirasakan adalah meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, dimana sebelum pengelolaan HKm diberikan anak-anak pada usia sekolah tidak bisa melanjutkan jenjang pendidikan mereka hanya sampai sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama saja, dengan alasan keterbatasan biaya. Namun seiring dengan hasil pengelolaan hutan (hasil hutan bukan kayu) yang semakin meningkat, menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Disamping itu saat ini telah berkembang tingkat pendidikan anak usia dini (paud) oleh kesadaran akan pentingnya pendidikan terhadap anak-anak. Pemerintah juga tidak lepas tangan dalam hal ini,  dengan kemajuan pembangunan di setiap desa telah didirikan sekolah-sekolah mulai dari SD bahkan sampai SMU.
5.     Manfaat Kesehatan
Begitu juga dengan kondisi kesehatan masyarakat, dengan meningkatnya pendapatan masyarakat dari pengelolaan hutan, tingkat pendidikan yang lebih tinggi serta kondisi sosial budaya yang lebih memadai kesadaran masyarakat untuk hidup sehat menjadi lebih baik, dengan mengkonsumsi makanan yang lebih layak dan lebih hiegienis bahkan dengan lauk pauk, perkakas (pakaian dan perlengkapan lainnya) sudah lebih memadai (bersih dan layak pakai) serta lingkungan mereka juga menjadi lebih bersih (berkembangnya budaya malu jika dianggap rumahnya kotor dan jelek dan keinginan untuk meniru  yang lain)
B.     Upaya Pemberdayaan
Untuk mendukung program HKm agar berjalan dengan baik dan tercapainya tujuan ekonomi dan ekologis secara seimbang maka dibutuhkan fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah.  Proses Pemberdayaan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah
1.       Pendampingan masyarakat dan pendampingan teknis
2.      Pelatihan (pembibitan, pemeliharaan tanaman sela dan tegakan hutan)
3.      Penyuluhan
4.      Bantuan teknis pembibitan, pemeliharaan tegakan, tanaman sela, rehabilitasi
hutan (konservasi tanah dan air, penanaman, pengayaan, dan pemeliharaan),
teknis pembukaan lahan
5.      Bantuan informasi dan media
6.      Pengembangan kelembagaan
7.      Pengembangan sumberdaya manusia
8.      Pengembangan jaringan kemitraan (kerjasama dan pemasaran)
9.      Pendampingan sistem administrasi kelembagaan
10.     Sistem permodalan
11.      Monitoring dan evaluasi


IV.     KESIMPULAN

4.1       Kesimpulan
1.      Bahwa upaya pemerintah dalam bidang kehutanan untuk menanggulangi kemiskinan masyarakat di sekitar hutan adalah melalui program Hutan Kemasyarakatan
2.     Program HKm memberikan dampak positif dalam segi ekonomi, ekologis, sosial budaya, pendidikan maupun kesehatan masyarakat.
3.     Bahwa pengelolaan hutan kemasyarakatan oleh masyarakat dapat dilakukan dengan pengembangan tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Spesies), maupun pengembangan jenis empon-emponan