Oleh
Renny
Retnowathi, S.Hut., M.Si
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Realitas kegiatan
pengelolaan hutan selama ini yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
telah menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di dalam dan
sekitar hutan. Konsep trickle down effect atau pertumbuhan untuk
pemerataan ternyata tidak serta-merta mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Akibatnya, timbul ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada
kesenjangan kesejahteraan antar masyarakat, khususnya antara masyarakat yang
memiliki akses terhadap manfaat hutan (pengusaha hutan, dan elit lokal) dan
masyarakat kebanyakan yang memiliki keterbatasan akses terhadap manfaat hutan.
Rendahnya kapasitas
sumberdaya manusia (pendidikan, sosial ekonomi, dan informasi) mengakibatkan
semakin terbatasnya akses masyarakat di dalam dan di sekitar hutan terhadap
manfaat ekonomi hutan. Oleh karena itu, kapasitas masyarakat harus ditingkatkan
agar akses terhadap sumberdaya hutan meningkat. Sedangkan untuk meningkatkan
kapasitas sumber daya manusia, masyarakat terlebih dahulu harus dientaskan dari
kemiskinan agar memperoleh akses terhadap pendidikan dan informasi. Hal ini
merupakan lingkaran setan (vicious circle) yang harus dipecahkan dan
diuraikan simpulnya. Simpul dari lingkaran setan ini tidak lain adalah masalah
kemiskinan (poverty).
Walaupun
cukup sulit untuk memperoleh angka kemiskinan secara pasti, namun setidaknya tercatat bahwa dari seluruh penduduk NTB
terdapat 1.126.674 orang NTB yang tergolong miskin (26,46% dari jumlah
penduduk NTB), dimana 400.000 orang
(40%) diantaranya hidup di dalam dan sekitar hutan yang mempunyai
ketergantungan pendapatan secara langsung dari sumberdaya hutan. Selain itu
luas kepemilikan lahan pertanian penduduk Pulau Lombok hanya ± 0,2 ha/KK untuk
menyangga 4-5 orang (Dishut Prop NTB, 2009)
Program
social forestry dapat mengambil peran ke depan untuk mengakomodir
keinginan, hasrat dan harapan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pengembangan social
forestry dalam pengelolaan hutan harus dapat membalikkan paradigma dari
pendekatan yang bersifat top down menjadi bottom up atau
pendekatan partisipatif dan mengutamakan partisipasi masyarakat setempat.
Strategi optimum pengembangan social forestry untuk masyarakat adalah
pemberian kesempatan pengelolaan hutan kepada masyarakat dengan
ketentuan-ketentuan yang memberi insentif pada efesiensi dan keberlanjutan
usaha dan kelestarian hutannya, tanpa harus membagi-bagi dan menyerahkan
kepemilikan areal hutan pada masyarakat pelaku ekonomi.
Gambar
1. Contoh HKm di Gunung Sasak
Strategi pokok pengembangan social forestry adalah :
1.
Kelola
kawasan merupakan rangkaian kegiatan prakondisi yang dilakukan untuk mendukung
pelaksanaan kegiatan social forestry dalam rangka optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya hutan.
Gambar 2. HHBK yang dapat dikembangkan
diareal HKm
2. Kelola
kelembagaan merupakan rangkaian upaya dalam rangka optimalisasi
pelaksanaan social forestry melalui penguatan organisasi,
penetapan aturan, dan peningkatan kaspasitas SDM.
3. Kelola usaha
merupakan rangkaian kegiatan yang mendukung tumbuh kembangnya usaha di areal
kerja social forestry melalui kemitraan dengan perimbangan hak dan
tanggung jawab.
Dengan
adanya perkembangan dinamika kehidupan masyarakat didalam dan di sekitar hutan
maka lahirlah dasar kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dapat
memayungi dan mendukung penguatan kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat
seperti : Hutan Kemasyarakatan (Permenhut No. 37 Tahun 2007), Hutan Desa
(Permenhut No. 49 Tahun 2008), pendanaan Hutan Rakyat (SK Menhut No.
49/Kpts-II/1997)
Proses
Pemberdayaan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan
hutan
kemasyarakatan
1.
Pendampingan
masyarakat dan pendampingan teknis
Gambar 3. Kegiatan Pendampingan Kelompok HKm
2. Pelatihan
(pembibitan, pemeliharaan tanaman sela dan tegakan hutan)
3. Penyuluhan
4. Bantuan teknis
pembibitan, pemeliharaan tegakan, tanaman sela, rehabilitasi
hutan
(konservasi tanah dan air, penanaman, pengayaan, dan pemeliharaan),
teknis
pembukaan lahan
5. Bantuan informasi
dan media
6. Pengembangan
kelembagaan
7. Pengembangan
sumberdaya manusia
8. Pengembangan
jaringan kemitraan (kerjasama dan pemasaran)
9. Pendampingan
sistem administrasi kelembagaan
10. Sistem permodalan
11. Monitoring dan evaluasi
1.2
Permasalahan
Seperti diuraikan diatas
bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan adalah dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap hutan dengan
memanfaatkan potensinya tanpa merubah fungsi kawasan hutan, dalam hal ini upaya
tersebut adalah dengan program Hutan Kemasyarakatan (HKm), namun dalam kenyataannya capaiannya masih rendah, baru 10
HKm yang memiliki SK penetapan dan memiliki izin pengelolaan hutan, data tersebut disajikan dalam lampiran
1.
Beberapa
masalah yang dihadapi pada program ini
dalam upaya mengentaskan kemiskinan masyarakat diantaranya adalah :
A. Masalah Kebijakan
Pemerintah
1. Dalam pengelolaan kawasan hutan dan
lahan telah terjadi tarik menarik antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah (propinsi dan kabupaten) dalam hal pengaturan wewenang dan tanggung
jawab pengelolaan hutan. Pemerintah daerah yang selama ini hanya menunggu
petunjuk dan aturan dari pusat dalam mengelola sumberdaya hutan sudah merasa
lebih memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan hutan.
Tarik menarik kekuasaan, wewenang dan
tanggung jawab dalam pengelolaan hutan ini tidak akan membawa manfaat bagi
kelestarian hutan dan kesejahteraan rakyat jika tetap tidak ada keberpihakan
kepada masyarakat terutama mereka yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.
2. Sulit mendapatkan lahan yang clear dan
clean atau bebas konflik atau sudah banyak yang diokupasi. Oleh sebab
itu, perlu secepatnya diupayakan akomodasi dan perlindungan hukum (asas
legalitas) agar pemantapan kawasan hutan tetap berjalan dan terjaga dengan
baik, dalam upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap hutan dengan
pemanfaatan potensinya.
3. Terbatasnya pengaturan akses masyarakat
terhadap sumber daya hutan, yang dipengaruhi
oleh kurangnya rasa kepemilikan masyarakat terhadap sumber daya hutan,
terbatasnya akses masyarakat dalam memperoleh pendapatan, ketidakpastian
pengelolaan hutan oleh masyarakat, rendahnya pemanfaatan potensi sumber daya
hutan oleh masyarakat, rendahnya posisi tawar masyarakat, dan meningkatnya
gangguan terhadap sumber daya hutan.
4. Tingginya ketergantungan masyarakat
terhadap program pemerintah dan pihak lainnya. Hal ini berujung pada rendahnya
inisiatif dan inovasi masyarakat dalam pengelolaan hutan sehingga masyarakat
menjadi pasif dan tidak mandiri. Selain itu, hal ini berakibat pada lemahnya
aspirasi masyarakat terhadap pengelolaan hutan.
5. Program pemberdayaan terhadap
masyarakat yang tidak tepat sasaran, hal ini mengakibatkan pemborosan dana,
waktu, dan tenaga. Selain itu pengembangan potensi masyarakat menjadi tidak
optimal dan masyarakat semakin tidak berdaya dalam pemanfaatan sumber daya
hutan. Akibatnya masyarakat sekitar hutan tetap miskin dan muncul kecemburuan
sosial di antara anggota masyarakat, yang bermuara pada semakin tidak
harmonisnya hubungan masyarakat dan sumber daya hutan.
6. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan
sekitar hutan yang tidak konsisten juga merupakan masalah yang harus segera
ditangani secara sungguh-sungguh. Kebijakan yang tidak konsisten mengakibatkan
kerusakan sumber daya hutan yang semakin hebat, tumpang tindihnya hak dan
kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan dan terhambatnya upaya pengembangan
ekonomi masyarakat. Selain itu kebijakan yang tidak konsisten juga
membingungkan masyarakat dan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah yang berakibat pada tidak tercapainya tujuan pemberdayaan
masyarakat. Hal ini berarti program pemberdayaan masyarakat tidak efisien dan
berpotensi memicu konflik diantara para pihak.
B.
Masalah
Sosial Ekonomi
1. Rendahnya pendapatan masyarakat yang
diakibatkan oleh sumber daya hutan
cenderung semakin rusak akibat
eksploitasi hutan menyebabkan masyarakat semakin sulit mengembangkan potensi
diri, sehingga standar minimal kebutuhan masyarakat sulit terpenuhi, dan pada
akhirnya masyarakat kurang dapat berpartisipasi dalam program pembangunan.
2. Kurangnya lapangan kerja yang tersedia
menyebabkan masyarakat semakin tergantung pada sumber daya hutan dan masyarakat
cenderung melegalkan segala cara dalam mengeksploitasi sumber daya hutan, yang
mengakibatkan banyak pengangguran maupun setengah penganggur, sehingga
produktivitas masyarakat rendah dan mudah dihasut untuk melakukan kegiatan yang
negatif.
3. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat
menyebabkan kurangnya informasi mengenai
potensi sumberdaya sekitarnya sehingga masyarakat cenderung menjadi objek pihak
lain dan kurangnya dorongan untuk maju. Implikasinya, pemanfaatan kesempatan
usaha tidak optimal, kemampuan mendapat nilai tambah menjadi sulit, harga jual
hasil produksi masyarakat tertekan, dan masyarakat sulit melepaskan diri dari
kungkungan sistem yang membelenggu masuknya arus informasi.
4. Keterbatasan modal berdampak pada
terhambatnya pemanfaatan lebih lanjut sumber daya hutan, rendahnya peluang
berusaha, dan sulitnya mengembangkan potensi dan mendapat nilai tambah sehingga
pada akhirnya cenderung berorientasi pada eksploitasi illegal sumber daya hutan.
C. Masalah Kelembagaan
1.
Kurangnya
peran dan sinergitas diantara para pihak(stakeholder), baik sinergitas antar sektor maupun antar tingkat
pemerintahan mengakibatkan terjadinya tumpang tindih dan/atau kesenjangan
kegiatan sehingga tidak efektif dan efesien.
2.
Lemahnya
akses masyarakat terhadap modal (finansial, lahan, saprodi), pasar, iptek,
informasi, dan dalam proses pengambilan kebijakan..
3.
Kekuatan
social capital yang ada di dalam suatu kelompok masyarakat.
4.
Terjadinya
gap antara kebijakan dan pelaksanaan
5.
Lemahnya
data dan informasi tentang masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta
kurangnya kepedulian terhadap data mengakibatkan rendahnya akurasi dan kepedulian
terhadap keberhasilan program.
D. Masalah Sumberdaya Manusia
1.
Kurangnya
kemampuan (kuantitas dan kualitas) aparat pemerintah dalam memfasilitasi
pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan,
2.
Rendahnya
kemampuan SDM (masyarakat, pemerintah, pengusaha hutan) menyebabkan sumber daya
manusia tidak adaptif dan membuka celah terjadinya miskomunikasi dan
disinformasi sehingga pelaksanaan program dan pencapaian sasaran kegiatan
pemberdayaan tidak efektif.
1.3
Tujuan
Penulisan makalah ini merupakan salah satu upaya yang
dapat dilakukan dalam mendeskrifsikan kegiatan HKm dengan berbagai permasalahan
yang terjadi dan dampak positif yang dihasilkan dan bertujuan untuk :
1. Memahami program pemerintah yakni Hutan
Kemasyarakatan (HKm) dalam upaya
pengentasan kemiskinan masyarakat, terutama masyarakat sekitar kawasan hutan.
2. Mengetahui kendala-kendala yang
dihadapi dalam pengembangan HKm.
3. Mampu memberikan solusi dan saran
terhadap masalah-masalah yang dihadapi, baik kepada pihak pemerintah, lembaga
pengelola maupun kelompok masyarakat.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan
Teoritis
Kemiskinan adalah kondisi
keterbatasan dalam berbagai hal, yaitu pangan, papan, akses kesehatan,
pendidikan, informasi, pekerjaan, dan kebebasan (eksistensi diri). Dengan kata
lain, kemiskinan memiliki banyak wajah, yang dapat berubah dari waktu ke waktu
dan dapat dipaparkan dengan berbagai cara. Namun yang sudah pasti, kemiskinan
adalah sebuah situasi dimana orang menginginkan untuk terbebaskan darinya (poverty
is a situation people want to escape). Singkatnya pengentasan
kemiskinan adalah aksi untuk mengubah keadaan sehingga lebih banyak orang dapat
makan, memiliki rumah layak, punya akses ke pendidikan dan kesehatan,
terlindungi dari kejahatan atau ancaman lingkungan, dan dapat menyuarakan
aspirasinya (Hubeis, 2004).
Ditambahkan lagi bahwa tingginya angka kemiskinan di NTB,
akibat akses masyarakat terhadap sumber daya produktif terbatas untuk melakukan
proses produksi untuk menghasilkan barang atau jasa. Produktivitas masyarakat
yang rendah berdampak pada rendahnya pendapatan sehingga masyarakat tetap miskin.
Disamping itu, tingkat pertumbuhan penduduk miskin di NTB lebih tinggi daripada
yang tidak miskin. Hal ini akibat perilaku sikap mental yang sudah lama
dilakoni sehingga menjadi budaya kemiskinan. Program strategis menurutnya harus
terintegrasi dan melibatkan semua sektor seperti sektor ekonomi, sosial, dan
infrastruktur dengan sasaran masyarakat miskin terdata. Harus ada gerakan
terpadu dengan sistem yang betul-betul melibatkan masyarakat. Program
pemerintah selama ini dikritisi Karyadi, dimulai dari tengah dan tidak langsung
menyentuh pada kendala penyumbatannya ada dimana.
Menyikapi
permasalahan-permasalahan di atas diperlukan metode penyelesaian melalui
pendekatan pemberdayaan masyarakat (prosperity approach). Pendekatan
pemberdayaan masyarakat mengubah paradigma pembangunan kehutanan dari timber
based forest management menjadi community based forest management.
Salah satu kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan adalah melalui
program Hutan Kemasyarakatan.
Luas hutan kemasyarakatan yang sudah memiliki Surat
Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) mencapai 14.800,5 hektare (ha). HKM
yang sudah memiliki status legal tersebut tersebar di Kabupaten Lombok Barat
seluas 411 ha, Kabupaten Lombok Tengah 1.809,5 ha, Kabupaten Lombok Utara 2.042
ha, Kabupaten Lombok Timur seluas 2.230 ha. Di Kabupaten Sumbawa seluas 895 ha,
Kabupaten Dompu 4.400 ha, Kabupaten Bima 1.999 ha, dan Kota Bima seluas 1.050
ha. Sementara luas HKM yang belum memiliki SK Menhut, mencapai 4.510 ha yang
tersebar di Kabupaten Lombok Utara seluas 215 ha, Kabupaten Lombok Timur 1.705
ha, Kabupaten Lombok Barat 1.520 ha, Kabupaten Sumbawa 870 ha, dan Kabupaten
Bima seluas 200 ha.
Sementara luas HKM yang belum memiliki SK Menhut, mencapai
4.510 ha yang tersebar di Kabupaten Lombok Utara seluas 215 ha, Kabupaten
Lombok Timur 1.705 ha, Kabupaten Lombok Barat 1.520 ha, Kabupaten Sumbawa 870
ha, dan Kabupaten Bima seluas 200 ha. Status legal dari seluruh HKM yang belum
memiliki SK Menhut itu masih dalam proses, agar masyarakat yang diberikan izin
usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKM) tidak khawatir akan diusir
paksa.
Sinergi dengan instansi terkait sangat diperlukan karena
masing-masing instansi itu juga mereka memiliki program pelatihan UMKM dan
penciptaan wirausaha baru yang bertujuan menekan angka kemiskinan dan
pengangguran di NTB. Data Badan Pusat Statistik (BPS) NTB, tercatat angka
pengangguran terbuka (TPT) hingga Februari 2012, sekitar 5,21 persen dari total
jumlah penduduk yang tergolong angkatan kerja sebanyak 2,18 juta orang.
Sejalan dengan hal tersebut (KBRN, 2012), menyatakan bahwa
pemerintah harus terus mendorong pengelolaan hutan oleh rakyat, seperti Hutan
Kemasyarakatan (HKm), untuk tetap menjamin berjalannya fungsi ekologi dan
fungsi ekonomi secara seimbang.
Kondisi Sosial
Ekonomi dan Budaya Petani Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kawasan Hutan Sesaot,
Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat ( Metin Rahayu, 2012)
1. Kondisi Sosial
Penduduk asli masyarakat HKm adalah suku Sasak dan sebagian adalah pendatang
dari suku seperti Jawa, Bali, Pulau Sumbawa dan Sulawesi Selatan. Kehidupan
sosial masyarakat tetap saling rukun dan saling menghormati. Mata pencaharian
masyarakat petani HKm sebagian besarnya adalah petani baik pada lahan pribadi
maupun sebagai buruh tani. Rata-rata tingkat pendidikan rendah disebabkan
sulitnya fasilitas pendidikan pada usia sekolah. Fasilitas pelayanan kesehatan
sudah mulai tersedia melalui posyandu di setiap dusun, namun kurangnya
kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan menyebabkan kondisi
kesehatan masyarakat sekitar kawasan hutan masih kurang.
2. Kondisi ekonomi
digambarkan sebagai berikut. Pendapatan utama
masyarakat berasal dari kawasan hutan dan memberikan kontribusi paling
besar terhadap pendapatan total sehingga menggambarkan tingginya tingkat
ketergantungan masyarakat terhadap hutan sebagai sumber pendapatan keluarga.
3. Aktitas
kelembagaan menunjukkan bahwa masyarakat semakin berkembang dalam pekerjaan
yang berdampak pada peningkatan pendapatan, tingkat pendidikan semakin membaik,
serta kerukunan diantara masyarakat semakin membaik.
Efektifitas Program Hutan Kemasyarakatan di
Pulau Lombok, Propinsi Nusa Tenggara Barat (Samsyiah Samad, 2012)
1. Bahwa
pelaksanaan program HKm yang telah berlangsung selama ± 15 tahun di Pulau
Lombok, khususnya pada Kawasan Hutan Lindung Sesaot Kabupaten Lombok Barat
dapat disimpulkan telah berjalan efektif, sedangkan untuk pelaksanaan HKm di Kawasan
Hutan Lindung Batukliang Utara Kabupaten Lombok Tengah berjalan cukup efektif.
2. Secara serentak
faktor-faktor yang berpengaruh dan signifikan terhadap efektifitas program HKm
adalah penerapan kebijakan, peran kelembagaan, dukungan dan peran para pihak,
legalitas hak kelola, luas lahan kelola, kepemilikan aset dan jarak tempat
tinggal, sedangkan secara parsial hanya empat faktor adalah penerapan
kebijakan, luas lahan kelola, kepemilikan aset dan jarak tempat tinggal yang
berpengaruh nyata terhadap efektifitas pelaksanaan program HKm pada taraf uji
5%.
3. Intervensi yang
dilakukan oleh pemerintah dan para pihak selama ini dalam pelaksanaan program
HKm dilapangan memiliki korelasi yang kuat atau berpengaruh nyata terhadap
efektifitas pelaksanaan program HKm baik dari aspek kelola kawasan, kelola
kelembagaan maupun kelola usaha.
III.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
3.1
Hasil Kajian
Dengan latar
belakang degradasi hutan yang terus meningkat, yang ditandai dengan peningkatan
jumlah lahan kritis oleh aktifitas manusia yang over exploitasi terhadap hutan
dan hasilnya berupa penebangan liar, pembalakan, penyerobotan hutan maupun
kebakaran hutan yang disengaja maupun
tidak, kesemuanya berdampak cukup besar terhada terancamnya sustainable forest.
Untuk itu melalui beberapa pendekatan , melalui penyuluhan maupun pendampingan
pemerintah membentuk suatu program dalam
mengakses keinginan masyarakat dalam mengelola hutan secara optimal, program
tersebut kemudian dinamakan Hutan
Kemasyarakatan
Sejalan dengan
hal tersebut para pakar dan pengamat kehutanan dunia mencatat tingkat kerusakan
hutan di Indonesia semakin meningkat. Forest Watch Indonesia (2001) meyatakan
laju deforestasi hutan di Indonesia tercepat di dunia yaitu 2 juta/ha pertahun,
atau dua kali lipat dari deforestasi
hutan pada tahun 1980. Penyebab deforestasi hutan ini antara lain; kebijakan
konversi lahan, illegal logging, perambahan hutan serta kebakaran hutan.
Kenyataan ini membawa dampak kerugian terhadap masyarakat dalam bentuk
hilangnya sumberdaya ekonomi kayu dan non kayu yang pemanfaatannya selama ini
belum optimal. Dampak lain yang dirasakan oleh kerusakan ini adalah bencana banjir yang terus menerus terjadi pada musim
hujan dan bencana kekeringan di musim kemarau yang sering terjadi di Indonesia
(Sumarwoto, 2001).
Reformasi dalam
bidang kehutanan menyempurnakan konsepsi tentang hutan kemasyarakatan dengan
memfokuskan kegiatan pada kawasan hutan negara (bukan hutan rakyat). Hutan
kemasyarakatan dirumuskan berdasarkan Kepmenhutbun No. 677/Kpts-II/1998 sebagai
hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk dikelola oleh
masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan, dengan tujuan
pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan
pada kepentingan menyejahterakan masyarakat.
Harapan
bersama bahwa dengan adanya program itu, hutan tetap lestari dan masyarakat
dapat bertambah kesejahteraannya. Hal ini menjadi slogan di mana-mana, sehingga
program HKm untuk meningkatkan pendapatan rakyat (pro poor), menciptakan
lapangan kerja (pro job), menumbuhkan investasi industri berbasis kayu rakyat
(pro growth), serta mampu mempercepat rehabilitasi lahan kritis dan perbaikan
mutu lingkungan (pro environment) dapat tercapai.
3.2.
Pembahasan
A.
Manfaat
Pengelolaan HKm
Seperti
diuraikan diatas program HKm telah memberikan peluang yang luas kepada masyarakat dalam mengelola hutan
secara optimal dan bijaksana (sesuai aturan yang ada), banyak manfaat yang bisa
dirasakan oleh masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung, disadari
maupun tidak melalui beberapa tahapan kegiatan mulai dari
perencanaan, pembangunan, pengelolaan dan pemungutan hasil hutan sampai dengan
kegiatan pemasaran. Manfaat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Manfaat
Ekonomi
Dalam pengelolaan HKm, pemerintah telah
memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan pengelolaan terhadap hutan
dengan aturan 30% untuk tanaman hutan
(kayu-kayuan) dan 70% untuk usaha tani hutan. Beberpa manfaat ekonomi yang bisa
dipetik adalah dengan pengembangan :
a.
MPTs
(Multi Purpose Tree Spesies)
Dari data dan observasi singkat yang
pernah dilakukan beberapa usaha tani yang telah dikembangkan oleh masyarakat
pengelola khususnya di Pulau Lombok yang memiliki nilai ekonomis yang cukup
tinggi adalah dengan menanam tanaman MPTs (Multi
Purpose Tree Spesies), jenis yang biasa dikembangkan terdiri dari tanaman durian, nangka, alpukat,
pepaya, pisang, cacao, kemiri, kopi, sukun, duku, manggis dll.
b.
Tanaman
Empon-emponan
Untuk jenis empon-emponan yang biasa
dikembangkan masyarakat terdiri dari berbagai jenis talas, kunyit, jahe, laos,
kencur dan lain-lain. Jenis ini dapat ditanam di bawah tegakan MPTs maupun
dibawah tanaman kayu-kayuan jadi sifatnya
memanfaatkan sela-sela tanaman namun memiliki nilai ekonomi yang cukup
tinggi. Hasil pengelolaan tersebut
terbukti dapat menambah pendapatan masyarakat dibandingkan dengan sebelum
melaksanakan program HKm
Gambar 5. empon-emponan bernilai ekonomi tinggi
c. Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) lainnya
Selain tanaman MPTs dan jenis
empon-empon beberapa hasil hutan yang memberikan nilai tambah dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pengelola HKm adalah jenis rotan, ketak, gaharu, aren, madu, bambu, tanaman vanili dan
jenis lainnya. Jenis HHBK yang dimanfaatkan tergantung dari kondisi tempat
tumbuh yang sesuai dengan jenis
tersebut, di suatu lokasi tertentu kadang hanya memiliki beberapa jenis HHBK
saja. Faktor-faktor yang yang mempengaruhi pertumbuhan jenis tertentu
ditentukan oleh topografi/ketinggian tempat, iklim, maupun keadaan lahan
d. Pemanfaatan
Jasa Lingkungan
Akhir-akhir ini yang paling banyak
disuarakan adalah kegiatan Ekowisata dengan memanfaatkan sumber daya alam (air,
keindahan alam, maupun sumberdaya lain yang tersimpan di dalamnya) untuk
kegiatan wisata dengan menggunakan panduan/ pemandu/ guide, jadi tetap mengacu
pada aspek pelestarian alam. Selain itu bentuk pemanfaatannya digunakan untuk irigasi, pengembangan perikanan,
peternakan, dan kebutuhan pengairan lainnya, mata air yang ada untuk sumber air
minum bagi masyarakat sekitar, iklim yang sejuk dan sehat yang dihasilkan oleh
vegetasi sekitar, maupun untuk pemanfaatan dalam bentuk transportasi (sarana penyeberangan) pada wilayah sungai
yang luas.
e. Pengembangan
Pendidikan dan Penelitian
Salah satu hal yang tidak kalah
pentingnya meskipun tidak secara langsung menghasilkan benefit yang nyata
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat namun hal ini memberikan dampak
terhadap pengembangan pengelolaan HKm yang lebih lanjut, serta dapat berdampak
terhadap penentuan langkah kebijakan pemerintah. Disamping itu kegiatan pendidikan dan penelitian ini sangat berpengaruh positif terhadap
generasi penerus.
Gambar 6. Pemanfaatan Hasil Hutan oleh
Masyarakat
2. Manfaat
Ekologis
Pemberian hak kepada petani untuk mengelola sejumlah luasan tertentu
kawasan hutan, menumbuhkan konsekuwensi mereka untuk bertanggungjawab terhadap
lahan dan ekosistem yang terdapat di dalamnya, dan bisa dinyatakan bahwa secara
tidak langsung petani pengelola merupakan penjaga bagi lahan tersebut. Hal ini
secara tidak tertulis telah termaktub dalam awig-awig (hukum/aturan) kelompok
untuk tidak melakukan penebangan/pengrusakan serta menjaga dari ancaman luar,
dan jika ada yang melanggar awig-awig tersebut maka dia (pelanggar) maka
konsekuwensinya adalah menerima denda (sesuai kesepakatan) atau harus siap
dikeluarkan dari kelompok. Hal inilah yang dimaksudkan oleh pemerintah bahwa
pengelolaan HKm diharapkan mampu menjaga sustainable forest (kelestarian hutan).
3. Manfaat Sosial
Budaya
Pemberian kewenangan kepada masyarakat
untuk mengelola kawasan hutan dengan luasan tertentu memberikan rasa nyaman dan
ketenangan masyarakat dalam melakukan pengelolaan terhadap garapan mereka,
berbeda halnya dengan sebelum program HKm ini diserahkan kepada masyarakat,
mereka senantiasa diliputi kecemasan dan ketakutan bahwa untuk melakukan
eksploitasi terhadap hutan. Ini juga berarti hilangnya rasa saling
“mencemburui” terhadap satu sama lain di
dalam masyarakat itu sendiri. Dengan tumbuhnya rasa nyaman dan aman dalam
mengelola lahan masing-masing maka kegiatan sosial antara lain saling
menghargai, saling bantu membantu maupun
kebersamaan akan tumbuh dengan sendirinya, begitu juga dengan kelestarian
budaya akan tetap terjaga dengan adanya awig-awig yang berlaku pada masyarakat.
4. Manfaat Pendidikan
Dari beberapa penelitian yang pernah
dilakukan terhadap pengelolaan HKm, salah satu dampak positif yang dirasakan
adalah meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, dimana sebelum pengelolaan
HKm diberikan anak-anak pada usia sekolah tidak bisa melanjutkan jenjang
pendidikan mereka hanya sampai sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama
saja, dengan alasan keterbatasan biaya. Namun seiring dengan hasil pengelolaan
hutan (hasil hutan bukan kayu) yang semakin meningkat, menumbuhkan kesadaran
masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka kejenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Disamping itu saat ini telah berkembang tingkat pendidikan anak usia
dini (paud) oleh kesadaran akan pentingnya pendidikan terhadap anak-anak.
Pemerintah juga tidak lepas tangan dalam hal ini, dengan kemajuan pembangunan di setiap desa
telah didirikan sekolah-sekolah mulai dari SD bahkan sampai SMU.
5. Manfaat
Kesehatan
Begitu juga dengan kondisi kesehatan
masyarakat, dengan meningkatnya pendapatan masyarakat dari pengelolaan hutan,
tingkat pendidikan yang lebih tinggi serta kondisi sosial budaya yang lebih
memadai kesadaran masyarakat untuk hidup sehat menjadi lebih baik, dengan
mengkonsumsi makanan yang lebih layak dan lebih hiegienis bahkan dengan lauk
pauk, perkakas (pakaian dan perlengkapan lainnya) sudah lebih memadai (bersih
dan layak pakai) serta lingkungan mereka juga menjadi lebih bersih
(berkembangnya budaya malu jika dianggap rumahnya kotor dan jelek dan keinginan
untuk meniru yang lain)
B. Upaya
Pemberdayaan
Untuk
mendukung program HKm agar berjalan dengan baik dan tercapainya tujuan ekonomi
dan ekologis secara seimbang maka dibutuhkan fasilitasi dan pembinaan dari
pemerintah. Proses Pemberdayaan yang
dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah
1. Pendampingan masyarakat dan pendampingan
teknis
2. Pelatihan (pembibitan, pemeliharaan tanaman
sela dan tegakan hutan)
3. Penyuluhan
4. Bantuan teknis pembibitan, pemeliharaan
tegakan, tanaman sela, rehabilitasi
hutan
(konservasi tanah dan air, penanaman, pengayaan, dan pemeliharaan),
teknis
pembukaan lahan
5. Bantuan informasi dan media
6. Pengembangan kelembagaan
7. Pengembangan sumberdaya manusia
8. Pengembangan jaringan kemitraan (kerjasama
dan pemasaran)
9. Pendampingan sistem administrasi
kelembagaan
10.
Sistem permodalan
11.
Monitoring dan evaluasi
IV.
KESIMPULAN
4.1
Kesimpulan
1. Bahwa upaya pemerintah dalam bidang
kehutanan untuk menanggulangi kemiskinan masyarakat di sekitar hutan adalah
melalui program Hutan Kemasyarakatan
2. Program HKm memberikan dampak positif
dalam segi ekonomi, ekologis, sosial budaya, pendidikan maupun kesehatan
masyarakat.
3. Bahwa pengelolaan hutan kemasyarakatan
oleh masyarakat dapat dilakukan dengan pengembangan tanaman MPTS (Multi Purpose
Tree Spesies), maupun pengembangan jenis empon-emponan